dan bunga. Saat aku masih berumur 10 tahun aku sudah kenal dengannya. Dia hanya seorang penjual serabi keliling. Setiap pagi ataupun sore aku sering membeli serabi bikinan bu fatmi. Rasanya? Tentu saja enak! Walaupun hanya seharga Rp. 500 tetapi serabi
bu fatmi tidak kalah dengan serabi-serabi yang dijual di toko. Serabi bu fatmi mulai digandrungi oleh tetangga-tetangga sekitar rumah, mulai dari anak kecil hingga dewasa menyukai serabi buatan bu fatmi.
Waktu demi waktu usaha bu fatmi mulai berkembang, banyak orang mendengar serabi bu fatmi enak rasanya. Teksturnya yang lembut, pas manisnya dan juga pas porsinya sangat mengena di hati para pembeli. Akhirnya dari hanya satu gerobak yang berkeliling sekarang bu fatmi menambah menjadi tiga, terus berlanjut menjadi lima, lalu sepuluh. Serabi bu fatmi mulai dikenal orang banyak bu fatmi mulai kebanjiran order dari tetangga komplek maupun tempat lain. Karena usahanya yang terus maju anak pertama dari bu fatmi membantu untuk mengurusnya.
Anak pertama bu fatmi bernama adira, statusnya masih mahasiswa di universitas negeri ternama, walaupun begitu adira tidak malu malah adira sering dimintai orderan oleh temannya untuk acara pesta. Adira membantu mengurus finansial keuangan usaha dari bu fatmi karena adira handal dalam urusan keuangan . Bagaimana tidak, ia mengambil jurusan manajemen keuangan di universitasnya. Karena ada bantuan dari adira usaha bu fatmi mulai berkembang pesat hingga bu fatmi bisa membuka cabang pertamanya di rumahnya sendiri. Kios yang tak begitu besar namun terlihat mewah. Bu fatmi juga menambah pegawainya dari para tetangga di sekitar rumahnya. Ibu-ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan direkrut bu fatmi untuk bekerja di kiosnya. Mereka diajarkan membuat kue serabi yang enak oleh bu fatmi.
Begitulah kisah seorang wanita penjual serabi ketika tuntutan ekonomi semakin tinggi dan untuk menghidupi ketiga anaknya dia tetap tekun berusaha dan tidak mudah menyerah sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan.